Selasa, 23 April 2013

Berpolitik Itu (Seharusnya) Mendidik!


Urusan sekolah, hak pendidikan, guru berpolitik, tak boleh disepelekan oleh kolonial. Gerakan melawan itu membuktikan ada keintiman politik dan pendidikan. Berpolitik itu mendidik! Ikhtiar menjadi manusia politik berarti menjadi pendidik. Mereka tak jera oleh hukuman penjara atau pembuangan. Agenda-agenda pendidikan tetap dijalankan secara bergairah, berpamrih mengadabkan Indonesia.
Sejarah itu tak terbaca oleh kaum politik di Indonesia saat ini. Pendidikan di abad XXI seolah tugas menteri, guru, dosen, orangtua, murid. Kaum politik di DPR dan partai politik tampak tak berurusan dengan pendidikan. Mereka memang berpendidikan untuk menjadi kaum terhormat di gedung parlemen atau pejabat meski tak bermisi pendidikan.
Kita bisa membuktikan dari kontroversi ujian nasional dan kurikulum baru. Kritik dan kecaman bermunculan, mengarah ke kerja menteri dan pejabat-pejabat di institusi pendidikan. Situasi darurat sulit ditanggulangi secara etis dan politis. Keributan tentang ototitas, integritas, tanggung jawab, justru terbiarkan jadi tema bergelimang kecewa dan luka. Kita pun sering menimpakan pengharapan dan sesalan ke birokrasi sebagai ”pelaksana” agenda-agenda pendidikan.
Kita justru lupa, tak menengok ke partai politik dan kaum terhormat di DPR. Mereka tampak sungkan dalam mengatasi situasi darurat pendidikan. DPR mungkin cuma sanggup mengirimkan surat panggilan, menghadirkan menteri ke gedung parlemen untuk diadili. Kita memiliki hak memberi kritik atas ulah kaum politik di DPR dan partai politik.
Mereka itu tekun mengiklankan diri, menampilkan keperlentean dan gagasan-gagasan politik tak merujuk ke pendidikan. Silakan membuka progam-progran kerja partai politik atau agenda-agenda di DPR. Urusan pendidikan cuma ”catatan kaki”, ada di pinggiran misi berpolitik. Hlo! Mereka berpolitik demi kekuasaan, uang, popularitas. Pendidikan sebagai ”kewadjiban politik” digantikan oleh dalil-dalil picisan.
Kecemasan atas situasi pendidikan tak teralami oleh kaum politik di DPR dan partai politik. Mereka masih resah dan bekerja keras demi Pemilu 2014. Kita adalah ”pemikir” dan ”penangung jawab” untuk urusan-urusan pendidikan. Kita tak menginginkan jadi kaum politik tapi memiliki keinsafan tentang signifikansi pendidikan di Indonesia.
Silakan partai politik terus mengumbar janji dan mewartakan kebohongan. Silakan kaum politik mendandani diri agar perlente dan berpolitik demi pamrih-pamrih keserakahan. Kita cuma berharap Indonesia tak lekas rapuh oleh ulah kaum politik. Keinsafan mengurusi pendidikan telah diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Berpolitik tak mesti berkuasa.

Berpolitik melalui pendidikan adalah mewartakan adab dan keindonesiaan untuk menapaki ”kemadjoean” dan masa depan. Ki Hadjar Dewantara memilih pendidikan sebagai basis ikhtiar berindonesia. Kita sering melupakan masa silam, meninggalkan sejarah di buku-buku tua berdebu. Kaum politik kita juga sering abai dan menghinakan sejarah. Mereka berpolitik tapi enggan bereferensi pada peran tokoh-tokoh politik dan pemaknaan pendidikan di awal abad XX. Berpolitik itu seharusnya mendidik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar